Senin, 16 Juli 2012

Teori semiotik




Teori Dasar
Semiotik atau Semiologi merupakan studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Semiotika mempunyai 3 bidang utama, yaitu :
1.      Tanda itu sendiri, yang mana terdiri atas berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang sesungguhnya.
2.      Kode atau system yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3.      Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja.

Tokoh-tokoh Semiotika antara lain :
C.S PEIRCE
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.


Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.
Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh:  Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian.  Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.


FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.

Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).

ROLAND BARTHES
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.


 ANALISA
Hampir setiap apa yang kita lihat di dunia ini, merupakan suatu tanda atau simbol yang mengandung arti dan telah disepakati artinya secara bersama, baik arti tersebut tersirat maupun tersurat.
Dalam iklan yang mengandung unsur audio dan visual, tanda-tanda yang dikomunikasikan kepada publik (yang nantinya berpeluang besar menjadi konsumen) kadang berbeda maknanya dari produk dan kegunaan apa yang dijual oleh produsen tersebut. Di sini iklan berperan sebagai pemikat. Bagaimana produk tersebut bisa mencapai target yang dituju, di samping disampaikan kegunaannya.
Iklan yang kami analisa berdasarkan tradisi semiotika adalah iklan deodoran pria Axe versi Sauce.
Pada awal iklan, ditampilkan sosok seorang pria berusia sekitar 22-25 tahun menyemprotkan Axe ke seluruh tubuhnya. Scene berlanjut ke frame di mana pria tersebut sampai di dalam sebuah kafe, di depan etalase, berhadapan dengan seorang wanita pramuniaga kafe yang memakai seragam model pelayan kafe di Eropa dengan baju model sabrina berwarna putih, celemek berwarna oranye dan ikat kepala berwarna oranye. Si pria kemudian memesan sebuah sandwich dan ketika menunduk, wanita itu digambarkan mencium aroma tubuh si pria. Kemudian si wanita memegang botol saus, dan si pria mengisyaratkan takaran saus di sandwichnya kepada si wanita kemudian si wanita menuangkan saus ke atas sandwich dan ketika disodorkan kepada si pria, ternyata saus tersebut membentuk tulisan nomor handphone si wanita. Si pria terkejut dan keterkejutannya itu dibalas dengan bahasa tubuh si wanita yang mengisyaratkan kegiatan menelepon.
Secara umum, iklan ini ingin menggambarkan kekuatan dari manfaat yang Anda dapatkan saat memakai Axe (misalnya, menjadi pusat perhatian, wanita akan tertarik pada Anda karena wanginya).
Iklan ini tidak menunjukkan komunikasi verbal antara para pemainnya, tetapi menggunakan kekuatan komunikasi non-verbal yang beranekaragam. Jika dianalisis menurut kode presentasional tubuh manusia menurut Argyle:
1.                           Proksimity : jarak yang ditampilkan dalam iklan tersebut, antara posisi pria dan wanitanya, sekitar 3 kaki. Hal ini menyiratkan jarak keintiman yang ingin dikatakan produk Axe bahwa dengan memakai Axe Anda akan memiliki aroma tubuh yang membuat orang lain nyaman untuk berdekatan dengan Anda.
2.                           Penampilan : Penampilan tokoh pria dalam iklan ini cenderung mengarah ke gaya eksekutif muda di kota besar dengan kemeja yang tampak rapi untuk menunjukkan status sosial yang ’lebih’ dengan anggapan, dengan memakai Axe status sosial pemakainya akan ikut naik. Sedangkan penampilan wanita dalam iklan ini yang mengenakan baju berkerah terbuka (sabrina) ingin menunjukkan kesan bahwa wanita ini adalah wanita yang seksi.
3.                           Ekspresi wajah : Yang tampak jelas dalam iklan ini adalah ekspresi wajah wanita yang ketika melihat si pria, yang tampak bersinar dan bergairah selama iklan berlangsung. Ditunjukkan dengan mata yang membelalak dan selalu terfokus pada si pria sekalipun ia sedang melakukan kegiatan menuangkan saus ke atas sandwich. Sesekali juga wanita dalam iklan menggigit bibirnya yang memberikan kesan menggoda si pria.
4.                           Gestur : Di akhir iklan kita mendapati sang wanita yang menggerakkan tangannya membentuk isyarat telepon kepada si pria. Menunjukkan ketertarikan yang lebih intens kepada si pria.
Iklan ini sebetulnya menggunakan kekuatan sex, baik itu sex appeal dari para aktor dalam iklan, properti maupun gerakan-gerakan yang ditampakkan. Dari segi properti, iklan ini mengambil properti utama berupa saus, tepatnya saus sambal. Mengapa saus sambal? Secara metafora, sambal identik dengan panas (dalam bahasa Inggris ”Hot”). Hal ini menjadi lain ketika saus sambal itu bercampur satu frame dengan seorang wanita yang memakai baju berkerah rendah, memandang seorang pria dengan menggigit bibir dan tatapan sedikit menyipit tapi fokus. Maka ’hot’ dalam konteks ini adalah seksi. Ketika menuangkan saus ke atas sandwich, teknik shot yang diambil adalah teknik extreme closeup di mana seakan-akan ingin ditonjolkan gerakan bahu dan ekspresi wanita yang menggoda si pria, sedangkan untuk pria kebanyakan shot yang diambil juga tidak melebihi dari breast pocket close up. Secara keseluruhan iklan ini ingin menonjolkan ekspresi akibat yang ditimbulkan si pria memakai produk Axe, oleh karena itu pengambilan shot gambar juga hampir 90% mengambil shot close up.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar