Teori Dasar
Semiotik
atau Semiologi merupakan studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja.
Semiotika mempunyai 3 bidang utama, yaitu :
1. Tanda
itu sendiri, yang mana terdiri atas berbagai tanda yang berbeda, cara
tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu
terkait dengan manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang
sesungguhnya.
2. Kode
atau system yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk
mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan
tempat kode dan tanda bekerja.
Tokoh-tokoh Semiotika
antara lain :
C.S PEIRCE
Peirce mengemukakan teori segitiga
makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda
(sign), object, dan interpretant.
Tanda
adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar
tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul
dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks
(tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini
disebut objek.
Objek
atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau
sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant
atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda
dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam
proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda
itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh:
Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi
mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol
keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat
Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton
bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut Saussure, tanda terdiri
dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan
konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam
berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek
dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure
disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan
interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure
memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan
dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier)
dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified).
Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak
dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
ROLAND BARTHES
Roland
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan
makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland
Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi
dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi
(makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari
pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan
Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang
diusung Saussure.
Barthes
juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi
setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya:
Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena
dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian
berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin,
sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi
berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon
beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
ANALISA
Hampir setiap apa yang kita
lihat di dunia ini, merupakan suatu tanda atau simbol yang mengandung arti dan
telah disepakati artinya secara bersama, baik arti tersebut tersirat maupun
tersurat.
Dalam iklan yang mengandung
unsur audio dan visual, tanda-tanda yang dikomunikasikan kepada publik (yang
nantinya berpeluang besar menjadi konsumen) kadang berbeda maknanya dari produk
dan kegunaan apa yang dijual oleh produsen tersebut. Di sini iklan berperan
sebagai pemikat. Bagaimana produk tersebut bisa mencapai target yang dituju, di
samping disampaikan kegunaannya.
Iklan yang kami analisa
berdasarkan tradisi semiotika adalah iklan deodoran pria Axe versi Sauce.
Pada awal iklan, ditampilkan
sosok seorang pria berusia sekitar 22-25 tahun menyemprotkan Axe ke seluruh
tubuhnya. Scene berlanjut ke frame di mana pria tersebut sampai di dalam sebuah
kafe, di depan etalase, berhadapan dengan seorang wanita pramuniaga kafe yang
memakai seragam model pelayan kafe di Eropa dengan baju model sabrina berwarna
putih, celemek berwarna oranye dan ikat kepala berwarna oranye. Si pria
kemudian memesan sebuah sandwich dan ketika menunduk, wanita itu digambarkan
mencium aroma tubuh si pria. Kemudian si wanita memegang botol saus, dan si
pria mengisyaratkan takaran saus di sandwichnya kepada si wanita kemudian si
wanita menuangkan saus ke atas sandwich dan ketika disodorkan kepada si pria,
ternyata saus tersebut membentuk tulisan nomor handphone si wanita. Si pria
terkejut dan keterkejutannya itu dibalas dengan bahasa tubuh si wanita yang
mengisyaratkan kegiatan menelepon.
Secara umum, iklan ini ingin
menggambarkan kekuatan dari manfaat yang Anda dapatkan saat memakai Axe
(misalnya, menjadi pusat perhatian, wanita akan tertarik pada Anda karena
wanginya).
Iklan ini tidak menunjukkan
komunikasi verbal antara para pemainnya, tetapi menggunakan kekuatan komunikasi
non-verbal yang beranekaragam. Jika dianalisis menurut kode presentasional
tubuh manusia menurut Argyle:
1.
Proksimity
: jarak yang ditampilkan dalam iklan tersebut, antara posisi pria dan
wanitanya, sekitar 3 kaki. Hal ini menyiratkan jarak keintiman yang ingin
dikatakan produk Axe bahwa dengan memakai Axe Anda akan memiliki aroma tubuh
yang membuat orang lain nyaman untuk berdekatan dengan Anda.
2.
Penampilan
: Penampilan tokoh pria dalam iklan ini cenderung mengarah ke gaya eksekutif
muda di kota besar dengan kemeja yang tampak rapi untuk menunjukkan status
sosial yang ’lebih’ dengan anggapan, dengan memakai Axe status sosial
pemakainya akan ikut naik. Sedangkan penampilan wanita dalam iklan ini yang
mengenakan baju berkerah terbuka (sabrina) ingin menunjukkan kesan bahwa wanita
ini adalah wanita yang seksi.
3.
Ekspresi
wajah : Yang tampak jelas dalam iklan ini adalah ekspresi wajah wanita yang
ketika melihat si pria, yang tampak bersinar dan bergairah selama iklan
berlangsung. Ditunjukkan dengan mata yang membelalak dan selalu terfokus pada
si pria sekalipun ia sedang melakukan kegiatan menuangkan saus ke atas
sandwich. Sesekali juga wanita dalam iklan menggigit bibirnya yang memberikan
kesan menggoda si pria.
4.
Gestur
: Di akhir iklan kita mendapati sang wanita yang menggerakkan tangannya
membentuk isyarat telepon kepada si pria. Menunjukkan ketertarikan yang lebih
intens kepada si pria.
Iklan ini sebetulnya
menggunakan kekuatan sex, baik itu sex appeal dari para aktor dalam iklan,
properti maupun gerakan-gerakan yang ditampakkan. Dari segi properti, iklan ini
mengambil properti utama berupa saus, tepatnya saus sambal. Mengapa saus
sambal? Secara metafora, sambal identik dengan panas (dalam bahasa Inggris
”Hot”). Hal ini menjadi lain ketika saus sambal itu bercampur satu frame dengan
seorang wanita yang memakai baju berkerah rendah, memandang seorang pria dengan
menggigit bibir dan tatapan sedikit menyipit tapi fokus. Maka ’hot’ dalam
konteks ini adalah seksi. Ketika menuangkan saus ke atas sandwich, teknik shot
yang diambil adalah teknik extreme
closeup di mana seakan-akan ingin ditonjolkan gerakan bahu dan ekspresi
wanita yang menggoda si pria, sedangkan untuk pria kebanyakan shot yang diambil
juga tidak melebihi dari breast pocket
close up. Secara keseluruhan iklan ini ingin menonjolkan ekspresi akibat
yang ditimbulkan si pria memakai produk Axe, oleh karena itu pengambilan shot
gambar juga hampir 90% mengambil shot close
up.